Tags
لسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
اما بعد
Firman Allah سبحانه وتعال:
فَلَمۡ تَقۡتُلُوهُمۡ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ قَتَلَهُمۡۚ وَمَا رَمَيۡتَ إِذۡ رَمَيۡتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ رَمَىٰۚ وَلِيُبۡلِىَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ مِنۡهُ بَلَآءً حَسَنًاۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ۬ ( ١٧ : ٨ : سُوۡرَةُ الاٴنفَال)
“Maka [yang sebenarnya] bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. [Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka] dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mu’min, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Surah Al-Anfal: 8: 1)
Dari ayat jelas dan tegas yang membunuh تَقۡتُلُو, memanah رَمَيۡتَ pelaku zahirnya adalah hamba namun yang mencipta hamba, mencipta niat, mencipta kehendak, mencipta kudrat, mencipta panah, mencipta aksi, kronologi pembunuhan dari awal hingga akhir adalah Allah. Hamba tidak menghasilkan apa-apa, atau dengan lain perkataan perbuatan manusia tidak meninggalkan bekas.
Kalau Allah tidak menciptakan kenyang pada makan dan menghilangkan haus pada minum, hamba tidak akan henti-henti makan (tidak dapat kenyang) dan tidak henti-henti minum (tidak dapat hilang haus) yang akhirnya membawa mudharat. Ini menunjukkan bukan makan yang membuat kenyang atau minum yang menghilangkan haus.
Ini ditegaskan lagi dengan firman Allah سبحانه وتعال:
قُلۡنَا يَـٰنَارُ كُونِى بَرۡدً۬ا وَسَلَـٰمًا عَلَىٰٓ إِبۡرَٲهِيمَ ( ٦٩ :٢١: سُوۡرَةُ الاٴنبیَاء)
“Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”. (Surah Al-Anbiya: 21: 69)
Dan hamba-hamba Allah dalam menanggapi sesuatu memberi bekas atau tidak terbahagi kepada empat golongan:
- Golongan yang mengiktikadkan bahawa segala sesuatu itu memberi bekas dengan tabi’atnya dan ulama telah ijma tentang kafirnya golongan ini;
- Golongan yang mengiktikadkan bahawa segala sesuatu itu memberi bekas dengan kekuatan yang dititipkan Allah padanya. Ulama ikhtilaf padanya tetapi pendapat yang kuat mereka tidak kafir;
- Golongan yang beriktikad bahawa segala sesuatu itu tidak memberi bekas dan memberi bekas itu wewenang Allah سبحانه وتعال dan bekas yang diberi Allah boleh menyalahi kelaziman bekas yang diberiNya contohnya tidak membakar atau tidak panasnya api pada Nabi Allah Ibrahim عليه السلام padahal api itu lazimnya panas dan membakar, dan tidak membakar api itu adalah bekas yang diberi oleh Allah jua. Inilah golongan yang selamat iktikadnya.
- Golongan yang juga beriktikad bahawa segala sesuatu itu tidak memberi bekas juga tetapi bekas itu lazim dan tidak menyalahi kelazimannya, contoh api itu pasti panas dan membakar, dan mustahil baginya sejuk dan tidak membakar. Golongan ini boleh menjadi kafir apabila mengingkari sesuatu yang mencarik adat seperti mukjizat Nabi Musa عليه السلام tongkatnya menjadi ular dan memakan ular ahli sihir Firaun.
Tulisan terkait: Aqidah 50 6 (2/2): Dalil Sifat Al-Wahdaniyyah
Debat أن الأمر أنف
“Segala perkara di hujung hidung, tiada hubungkait dengan Taqdir”
Fahaman أن الأمر أنف ini adalah fahaman rasmi daulah Syi’ah Fatimiyyah, Mesir yang menganut iktikad Muktazilah di bawah Khalifah al-Mu’iz li-Din Allah (wafat 365H) yang mendiri Jami’ al-Azhar.
Suatu hari Mahaguru Muktazilah di zamannya, Qadi Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamdani (kitab-kitab tulisannya dirujuk-kaji sampai hari ini) datang ke pejabat Ibnu ‘Ubad (wazir Khalifah al-Mu’iz) yang sedang berbicara dengan tokoh Ahlus Sunnah wal Jamaah, Imam Abu Ishak al-Asfaraini’
Sesudah memberi salam Abdul Jabbar berkata: “Amat suci Tuhan dari sekalian yang keji.” [Dengan ucapannya ini Abdul Jabbar menyindir Abu Ishak, karena Abu Ishak beri’itikad bahawa sekalian pekerjaan manusia, buru baik dijadikan Tuhan.]
Lalu Abu Ishak menjawab: “Maha Suci Tuhan yang tidak terjadi suatu juga dalam kerajaanNya selain yang Ia kehendaki.” [Dengan ucapannya itu Abu Ishak menyindir Abdul Jabbar, bahwa sekalian yang terjadi di dunia hanyalah boleh terjadi kalau Tuhan menghendaki.]
Lalu Abul Jabbar menjawab: “Apakah Tuhanmu menghendaki supaya Ia didurhakai?” [Dengan ucapan ini seolah-olah Abdul Jabbar mendebat Abu Ishak, bahwa kalau Tuhan juga yang membuat pekerjaan yang durhaka, maka tentulah Ia suka kalau Ia didurhakai.]
Lalu Abu Ishak menjawab: “Apakah Tuhanmu dapat dipaksa untuk didurhakai?” [Dengan ucapan ini seola-olah Abu Ishak mengatakan, kalau tidak Tuhan yang menjadikan pekerjaan manusia yang maksiat, maka tentulah Ia dipaksa menerima maksiat manusia, karena mahu tidak mahu Ia harus menerima maksiat yang dibuat orang dengan tidak setahuNya itu.]
Lalu Abdul Jabbar menjawab: “Bagaimana pendapatmu, kalau Tuhan tidak memberi hidayat kepadaku, dan dipaksaNya saya mengerjakan perbuatan buruk, apakah Tuhan berbuat baik atau berbuat jahat kepada saya?” [Dengan ucapan ini seolah-olah Abdul Jabbar mengatakan bahwa kalau Tuhan juga yang membuat pekerjaan manusia yang jelek, maka tentulah Tuhan itu berniat jahat kepada manusia, pada hal yang berniat jahat kepada manusia itu adalah syaitan, bukan Tuhan.]
Abu Ishak al-Asfaraini menjawab: “Kalau Tuhan melarangmu mengambil milikNya, maka Tuhan memperbuat apa yang disukaiNya dalsam milikNya.” [Dengan ucapan ini Abu Ishak mengatakan sekalian yang ada dan yang terjadi di dalam alam ini adala milik Tuhan dan dalam kekuasaan Tuhan, maka Ia berhak memperbuat sekehendakNya apa dan atas apa yang disukaiNya, sesuai dengan firmanNya سُوۡرَةُ البُرُوج:
فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ (١٦)
“Barang kehendak Allah berbuat”
[I’itiqad Ahlussunnah wal-Jamaah edisi ke-4 1978, KH Sirajuddin Abbas, PAPSB, hal 208-209]
والله أعلم بالصواب
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ
“Maha suci Engkau wahai Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”